Jumat, 20 Juni 2014

Nu’aim bin Mas’ud

“Nu’aim bin Mas’ud Adalah Orang yang Mengerti bahwa Perang
Adalah Tipu-Daya”


Nu’aim bin Mas’ud adalah seorang pemuda yang memiliki hati yang
hidup. Dia adalah pemuda yang cerdas, sering memberikan ide dan solusi.
Ia tidak pernah merasa terhalang, dan tidak pernah menyerah terhadap
segala problema.
Dia adalah seorang figur anak padang pasir dengan segala potensi yang
Allah berikan pada dirinya dengan ketepatan perkiraan dan dugaannya,
kecepatan intuisi dan kecerdikan yang luar biasa... Akan tetapi dia adalah
orang yang amat menyukai kesenangan yang sering kali ia katakan kepada
para kaum Yahudi di Yatsrib.
Maka setiap kali jiwanya rindu kepada suara penyanyi wanita dan
ingin mendengarkan dentingan alat musik, ia akan segera meninggalkan
kampungnya di Najd dan pergi menuju Madinah dimana ia dapat
menghamburkan uang dengan amat mudahnya kepada kaum Yahudi di
sana, agar ia mendapatkan kenikmatan yang lebih banyak lagi.
Dari sinilah, Nu’aim seringkali pulang-pergi ke Yatsrib, dan ia sudah
berkenalan akrab dengan para Yahudi di sana, apalagi dengan Bani
Quraidzah.
    Ketika Allah Swt memuliakan manusia dengan mengutus kepada
mereka seorang Rasul-Nya yang membawa agama petunjuk dan
kebenaran, sehingga seluruh daerah di Mekkah tersinari oleh cahaya Islam;
saat itu Nu’aim bin Mas’ud masih saja menjadi orang yang selalu
memuaskan hawa nafsunya.
Ia menolak agama yang baru ini dengan begitu kerasnya, karena ia
merasa khawatir bahwa agama tersebut dapat menghalanginya dari
kesenangan dan kenikmatan.
Kemudian ia mendapati dirinya telah bergabung dengan para musuh
Islam yang begitu keras, yang menyerang Islam dengan menghunuskan
pedang di wajahnya.
Akan tetapi Nu’aim bin Mas’ud telah membuka sebuah lembaran baru
dalam sejarah dakwah Islam bagi dirinya pada hari peperangan Al-Ahzab 146 . Dalam lembaran ini ia menuliskan sebuah kisah terbaik tentang
strategi dan tipu daya berperang.
Sebuah kisah yang masih terus dituliskan oleh sejarah karena
kekaguman terhadap tokoh kisah ini yang amat cerdas dan cerdik.
Untuk memahami kisah Nu’aim bin Mas’ud kita akan kembali ke
belakang sejenak.
Sesaat sebelum terjadinya perang Al Ahzab, ada sebuah kelompok
Yahudi dari Bani Nadhir dimana para pemuka dan pembesar mereka
membagi orang-orang dalam beberapa kelompok untuk memerangi
Rasulullah Saw dan menumpas agamanya.
Mereka datang menghadap suku Quraisy di Mekkah, dan menghasut
mereka untuk memerangi pasukan muslimin. Para Yahudi tersebut juga
berjanji kepada pihak Quraisy bahwa mereka akan bergabung begitu
bangsa Quraisy tiba di Madinah, dan para Yahudi tadi membuat perjanjian
kepada Quraisy yang tidak akan mereka ingkari.
Kemudian para Yahudi tadi meninggalkan bangsa Quraisy lalu
berangkat menuju Gathfan di Najd. Lagi-lagi para Yahudi menghasut
penduduk di sana untuk menentang Islam. Yahudi tersebut mengajak
mereka untuk memberantas agama baru Muhammad dari akar-akarnya.
Mereka menceritakan dengan sembunyi-sembunyi atas perjanjian yang
telah mereka buat dengan bangsa Quraisy. Yahudi tersebut juga melakukan
perjanjian yang sama dengan penduduk Gathfan, dan memberitahukan
mereka waktu yang tepat untuk menjalankan misi tersebut.
   Berangkatlah bangsa Quraisy dengan semua kekuatannya, dengan
pasukan berkendara dan pasukan yang berjalan kaki. Mereka berangkat di
bawah komando Abu Sufyan bin Harb dan menuju ke arah Madinah.
Bangsa Gathfan pun dari Najd berangkat dengan seluruh kekuatannya
di bawah komando Uyainah bin Hishn Al Gathfani 147 .
Salah seorang dari pasukan Gathfan adalah tokoh kisah ini yang
bernama Nu’aim bin Mas’ud.
   Begitu Rasulullah Saw mendengar kabar keberangkatan mereka, Beliau
langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk memusyawarahkan
permasalahan ini. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk
menggali parit di sekeliling Madinah untuk mencegah pasukan besar ini
yang tak mampu mereka hadapi.
Begitu kedua pasukan dari Mekkah dan Najd hampir tiba di
penghujung kota Madinah, para pemuka Yahudi dari Bani Nadhir
mendatangi para pemuka Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah.
Yahudi dari Bani Nadhir mengajak Yahudi Bani Quraizhah untuk turut
serta memerangi Muhammad Saw dan mengajak mereka untuk bergabung
dengan dua pasukan besar yang datang dari Mekkah dan Najd.
Maka berkatalah para pembesar Bani Quraizhah: “Kalian telah
mengajak kami untuk melakukan hal yang amat kami sukai. Akan tetapi
kalian sudah tahu bahwa di antara kami dan Muhammad terdapat sebuah
perjanjian yang tertulis bahwa kami tidak boleh menyerahkan dia dan
meninggalkan dia dan agar kami dapat tinggal di Madinah dengan aman
dan nyaman. Kalian sudah tahu bahwa tinta perjanjian kami dengannya,
sampai sekarang belum juga mengering.
Kami khawatir, jika Muhammad berhasil menang dalam peperangan
ini, maka ia akan menyiksa kami dengan amat kejamnya. Ia pasti akan
mengusir kami sebagai balas dari pengkhianatan yang kami lakukan
terhadapnya.”
Akan tetapi para pemuka Bani Nadhir ini masih saja terus membujuk
mereka untuk mengkhianati perjanjian terhadap Muhammad. Mereka juga
memastikan kepada Bani Quraizhah bahwa kemenangan kali ini pasti akan
diraih oleh pihak mereka, dan itu tidak akan meleset.
Mereka semakin menambahkan keyakinan Bani Quraizhah bahwa dua
pasukan yang besar sudah tiba di Madinah.
Maka segeralah Bani Quraizhah turut dengan bujukan tersebut dan
membatalkan perjanjian mereka dengan Rasulullah Saw. Mereka lalu
merobek  naskah  perjanjian  mereka  dengan  Muhammad,  dan
mengumumkan bahwa mereka akan bergabung dengan pasukan lain
untuk memerangi Beliau.
Maka sampailah berita ini ke telinga kaum muslimin bagai kilat
menyambar.
Pasukan Ahzab (Barisan musuh yang terdiri dari banyak kelompok)
mengepung Madinah. Mereka mengembargo pasokan pangan bagi
penduduk Madinah. Maka kaum muslimin menjadi amat menderita.
   Rasulullah Saw merasa bahwa Beliau berada di antara dua cengkraman
musuh.
Sebab pasukan Quraisy dan Gathfan sedang berkemah di depan
pasukan muslimin dan berada di luar Madinah.
Sedangkan Bani Quraizhah selalu mengintai dan berjaga-jaga dari
dalam Madinah.
Kemudian ada beberapa orang munafik dan mereka yang memiliki
penyakit dalam hatinya mulai menampakkan bentuk asli diri mereka
dengan berkata: “Dulu Muhammad menjanjikan kami harta kekayaan
Kisra dan Kaisar. Nah, sekarang tidak ada seorang pun dari kami yang
merasa aman untuk buang air ke kamar kecil!!”
Lalu sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan Nabi Saw dengan
dalih bahwa mereka khawatir atas keselamatan istri, anak-anak dan rumah
mereka dari serangan yang dapat dilancarkan oleh Bani Quraizhah jika
perang sudah dimulai. Sehingga tidak ada yang tersisa bersama
Muhammad Saw selain hanya ratusan orang dari para mukmin sejati.
Pada suatu malam pada masa embargo tersebut yang berlangsung
hampir 20 hari, Rasulullah Saw menghadap Tuhannya dan ia berdo’a
dengan selalu mengulang do’anya: “Ya Allah, aku meminta janji-Mu... Ya
Allah, aku menagih janji-Mu!”

Nu’aim bin Mas’ud pada malam itu sedang resah di atas
pembaringannya seolah kelopak kedua matanya sedang tercucuk duri. Lalu
ia membuka matanya dan melihat ke arah bintang yang ada di langit. Ia
berfikir lama. Tiba-tiba ia mendapati hatinya berkata: “Celaka engkau, ya
Nu’aim!! Apa yang membuat kamu datang dari negeri Najd yang jauh
sehingga engkau mau memerangi orang ini dan para pengikutnya?!!
Engkau tidak memeranginya karena hendak menolong orang yang telah
dirampas haknya, atau menolong orang yang harga dirinya telah
dilecehkan. Akan tetapi engkau datang untuk memeranginya tanpa sebab
yang jelas. Apakah pantas seorang yang cerdas sepertimu untuk berperang
sehingga membunuh atau terbunuh tanpa sebab yang jelas?!! Celaka kamu,
ya Nu’aim!!
Apa yang membuatmu menghunuskan pedang dihadapan wajah orang
yang shalih ini yang memerintahkan para pengikutnya untuk berlaku adil,
baik dan membantu kaum kerabat?!!
Apa yang membuatmu akan membasahi tombakmu dengan darah para
sahabatnya yang selalu mengikuti wahyu petunjuk dan kebenaran yang
dibawa Muhammad kepada mereka?!!”
Pembicaraan yang sengit ini tidak berakhir melainkan dengan sebuah
keputusan bulat yang kemudian membuat Nu’aim bangkit dan langsung
melaksanakannya.
   Nu’aim bin Mas’ud dengan sembunyi meninggalkan kamp kaumnya di
bawah kegelapan malam. Ia berangkat untuk menjumpai Rasulullah Saw.
Begitu Nabi Saw melihatnya sedang menyamar dan berdiri
dihadapanya, maka Nabi langsung bertanya: “Apakah engkau Nu’aim bin
Mas’ud?” Ia menjawab: “Benar, ya Rasulullah!”
Rasul bertanya: “Apa yang membuatmu datang kemari pada saat seperti
ini?!” Ia berkata: “Aku datang untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa engkau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa
apa yang engkau bawa adalah benar.”
Kemudian ia menambahkan: “Aku telah masuk Islam, ya Rasulullah.
Kaumku tidak tahu akan keislamanku. Perintahkanlah apa saja kepadaku!”
Rasul Saw bersabda: “Bagi kami engkau hanyalah seorang saja. Pergi dan
temuilah kaum mu. Lemahkanlah semangat dan kekuatan musuh kami jika
engkau mampu. Sebab perang ini adalah tipu daya.”
Maka ia menjawab: “Baik, ya Rasulullah! Engkau akan melihat hasil
yang dapat membuatmu puas, Insya Allah.”

Nu’aim bin Mas’ud langsung berangkat menemui Bani Quraizhah.
Nu’aim bagi mereka adalah seorang teman yang telah mereka kenal.
Nu’aim berkata kepada mereka: “Wahai Bani Quraizhah, engkau sudah
mengetahui betapa aku cinta kalian dan betapa aku tulus dalam
memberikan nasehat kepada kalian.” Mereka menjawab: “Benar. Engkau
bukanlah orang yang memiliki reputasi buruk bagi kami.” Nu’aim berkata:
“Quraisy dan Gathfan dalam perang ini memiliki alasan tersendiri yang
tidak kalian miliki.” Mereka bertanya: “Mengapa bisa demikian?” Nu’aim
menjelaskan: “Tanah ini adalah negeri kalian. Di sini terdapat harta, anak-
anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan bisa meninggalkan negeri ini.
Sedangkan Quraisy dan Gathfan; negeri, harta, anak dan istri mereka
tidak berada di sini.
Mereka datang untuk berperang melawan Muhammad. Mereka
mengajak kalian untuk membatalkan perjanjian dengannya dan membantu
mereka untuk memeranginya, dan kalian mau saja dengan ajakan mereka.
Jika mereka berhasil mengalahkan Muhammad maka mereka akan
mengambil ghanimah darinya. Jika mereka kalah dalam memeranginya,
maka mereka akan kembali ke negeri mereka dengan aman dan
membiarkan kalian disini bersama Muhammad sehingga ia dapat
membalas kalian dengan begitu kejam.
Kalian sudah tahu bahwa kalian tidak mampu untuk menghadapi
Muhammad jika Quraisy dan Gathfan meninggalkan kalian.”
 Penduduk Bani Quraizhah berkata: “Engkau benar. Lalu apa
pendapatmu?!”
Nu’aim berkata: “Pendapatku adalah kalian jangan bergabung dengan
mereka sehingga kalian ajak sekelompok pembesar mereka yang kalian
jadikan sebagai jaminan bagi kalian. Para pembesar tadi kalian ajak untuk
berperang melawan Muhammad sampai kalian dapat mengalahkannya,
atau hingga manusia terakhir dari kalian atau dari mereka mati.”
Bani Quraizhah menjawab: “Benar sekali pendapatmu.”
Kemudian Nu’aim meninggalkan mereka dan pergi untuk menemui
Abu Sufyan panglima pasukan Quraisy. Ia berkata kepadanya dan para
pasukannya: “Wahai bangsa Quraisy, kalian sudah mengetahui betapa
kecintaanku kepada kalian dan betapa aku memusuhi Muhammad.
Ada suatu hal dan menurutku hal ini harus aku sampaikan kepada
kalian sebagai sebuah nasihat namun kalian harus menyimpannya dengan
baik dan jangan menceritakan bahwa ini berasal dariku!” Para pasukan
Quraisy berkata: “Kami akan menjaminnya!”
Nu’aim berkata: “Bani Quraizhah telah menyesal karena telah
memusuhi Muhammad. Mereka lalu mengirimkan surat kepadanya yang
berbunyi: ‘Kami menyesal atas apa yang telah kami perbuat. Kami berniat
untuk kembali melakukan perjanjian dan perdamaian denganmu. Apakah
akan membuatmu senang bila kami akan mengambil beberapa orang dari
para pemuka Quraisy dan Gathfan, kemudian kami serahkan mereka
kepadamu untuk dipenggal lehernya.
Kemudian kami akan bergabung dengan kalian untuk memerangi
mereka sehingga engkau dapat mengalahkan mereka.’
Maka Muhammad pun mengirimkan surat balasan yang berbunyi:
‘Baik.’
Maka jika kaum Yahudi mengirimkan utusan untuk meminta jaminan
dari beberapa orangmu, maka jangan kalian kirim seorang pun kepada
mereka.”
Maka Abu Sufyan pun berkata: “Sebaik-baiknya sekutu adalah engkau!
Semoga kebaikanmu dibalas.”
Kemudian Nu’aim meninggalkan Abu Sufyan dan pergi menuju
kaumnya yaitu suku Gathfan. Ia menceritakan kepada mereka sebagaimana
yang ia ceritakan kepada Abu Sufyan, dan ia memberikan peringatan yang
sama persis seperti yang ia berikan kepada Abu Sufyan.

Abu Sufyan ingin menguji Bani Quraizhah dan ia mengutus anaknya
untuk  menemui  mereka  dan  berkata  kepada  mereka:  “Ayahku
menyampaikan salam kepada kalian dan berkata: ‘Sudah lama embargo
yang kita lakukan terhadap Muhammad sehingga kami merasa bosan. Kamisudah mengambil keputusan untuk menyerang Muhammad dan
mengalahkannya...’ Ayah mengutusku kepada kalian untuk mengundang
kalian ke perkemahannya besok.”
Bani Quraizhah berkata kepadanya: “Besok adalah hari Sabtu dan kami
tidak akan melakukan apapun pada hari Sabtu. Kami tidak akan ikut
perang bersama kalian sehingga kalian mengirimkan 70 orang pemuka
kalian dan pemuka Gathfan sebagai jaminan untuk kami. Sebab kami
khawatir bila peperangan nanti semakin sengit, kalian bisa kembali ke
negeri kalian dan meninggalkan kami sendirian untuk menghadapi
Muhammad. Kalian sudah tahu bahwa kami tidak akan mampu
menghadapi pasukan Muhammad.”
Begitu anaknya Abu Sufyan kembali ke kaumnya dan menceritakan apa
yang ia dengar dari Bani Quraizhah, maka mereka berkata dengan
perkataan yang sama: “Celaka, anak-anak keturunan monyet dan babi itu!
Demi Allah, jika mereka meminta kami untuk memberikan seekor kambing
sebagai jaminan, maka tidak akan pernah kami memberikannya!”

Nu’aim bin Mas’ud berhasil memecah belah barisan pasukan Ahzab.
Kemudian Allah Swt mengirimkan kepada Quraisy dan para sekutunya
angin yang kencang sehingga merusak tenda-tenda, menumpahkan
tungku, memadamkan lampu, menampar wajah mereka dan mengisi mata
mereka dengan pasir.
Mereka tidak menemukan lagi jalan keluar dari sana. Akhirnya, mereka
pergi di tengah kegelapan malam.
Begitu pagi menjelang, kaum muslimin mendapati bahwa para musuh
Allah telah lari yang membuat mereka semua mengatakan: “Segala puji
bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya, menguatkan tentaranya dan
menghancurkan Ahzab (pasukan musuh) dengan sendiri saja.”

Sejak saat itu, Nu’aim bin Mas’ud menjadi orang kepercayaan
Rasulullah Saw. Rasul memberikan beberapa tugas kepadanya, dan
memberikan tanggung jawab kepada dirinya. Sering kali ia diperintahkan
untuk menjadi pembawa panji saat berperang.
Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abu Sufyan bin Harb
memperhatikan rombongan pasukan muslimin. Kemudian ia melihat
seorang pria yang membawa panji Gathfan dan Abu Sufyan bertanya
kepada orang di sampingnya: “Siapakah orang itu?!” Mereka menjawab:
“Dia adalah Nu’aim bin Mas’ud.” Abu Sufyan berkata: “Amat keji
perbuatan yang ia lakukan kepada kita pada perang Khandaq. Demi Allah,
dulunya dia adalah orang yang paling memusuhi Muhammad. Sekarang
Kisah Heroik 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW
dia membawa panji kaumnya bersama Muhammad, dan turut serta untuk
memerangi kita di bawah panji yang dibawanya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang profil Nu’aim bin Mas’ud silahkan
melihat:

1. As Sirah An Nabawiyah karya Ibnu Hisyam: (lih. Daftar Isi)
2. Al Istiab (dengan Hamisy Al Ishabah):3/557
3. Usudul Ghabah: 5/347 atau (Tarjamah) 5274
4. Ansab Al Asyraf: 340, 345
5. Al Ishabah: 3/568 atau (Tarjamah) 8779
6. Hayatus Shahabah: (lih. Daftar Isi pada jilid 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar